Wakabid Pergerakan Sarinah DPC GMNI Bangka, Sarinah Adel : Bukan Soal Uang Lalu Damai, Tetapi Siapa Yang Bertanggung Jawab Atas Trauma Yang Dialami Korban Seumur Hidup?

  • Update Jumat, 27 Januari 2023
  • Daerah
  • Dilihat : 626 kali

 

Bangka Belitung, 27-01-2023 | Sarwamedia.com

Kasus pemerkosaan anak perempuan berusia 15 tahun oleh 6 pelaku yang terjadi di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah menjadi masalah kita bersama dan yang sangat disayangkan dan perlu diperihatinkan bahwa kasus ini berkahir damai antara pelaku dan korban yang dimediasi oleh oknum LSM yang ada di sana. Kenapa hal ini terjadi? LSM yang seharusnya memiliki perspektif keberpihakan terhadap korban malah menjadi jembatan buruk bagi keadilan korban.

Mediasi yang dilakukan oleh oknum LSM antara orang tua pelaku dan juga orang tua korban di Rumah Kepala Desa setempat yang tidak melibatkan pihak kepolisian ini adalah langkah yang sangat salah dan tidak adil bagi korban, karena seharusnya mediasi terhadap kasus pemerkosaan itu didampingi oleh pengacara dan harus diketahui oleh pihak kepolisian serta diselidiki dengan sangat matang dan jelas. Sehingga persoalan pelecehan dan kekerasan seksual tidak diabaikan begitu saja oleh Aparat Penegak Hukum maupun masyarakat, karena kasus ini bukanlah masalah kecil yang harus ditutupi oleh mata kita dan disepelekan.

Banyak hal yang perlu kita perhatikan dan pertimbangkan dalam menangani kasus tersebut. Paling terpenting adalah keberpihakan dan keadilan yang harus diterima oleh korban. Jika korban tidak mendapatkan keadilan hukum, pendampingan dan juga pemulihan atas apa yang menimpanya, maka siapa yang akan bertanggungjawab atas trauma korban seumur hidup?

Bagaimana bisa pendamping korban kekerasan seksual malah mengintimidasi korban? Tidak tahu apa yang menjadi alasan oknum LSM tersebut melakukan mediasi damai antara keduanya, tetapi fakta yang terjadi mereka meminta uang kepada para pelaku dengan menjanjikan kebebasan dari jeratan hukum dan pihak korbanpun mendapatkan sejumlah uang yang menjadi alat ganti rugi. Hal ini tentu melanggar hukum yang ada di dalam UU TPKS. Jelas sudah apa yang tertuang di UU TPKS bahwa masyarakat dan juga pemerintah, terkhusus lembaga yang berperan penting dan mempunyai tugas lebih dalam menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual harus menegakkan keadilan dan mengimplementasikan secara nyata hukum yang ada di UU TPKS.

Penyelesaian kasus tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa mencampuri dengan kepentingan pribadi atau kelompok, karena UU TPKS jelas membahas dan mengatur terkait pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum yang dilandasi keadilan terhadap korban dan memberikan efek ketegasan hukum yang harus diterima oleh para pelaku.

Kasus ini tentu dapat ditindaklanjuti walaupun sudah ada kesepakatan damai antara pelaku dan korban ataupun tidak terdapat laporan pengaduan dari pihak korban, karena jelas sudah apa yang ada di UU TPKS pada pasal 2 butir ke-2 disebutkan bahwa pelecehan seksual sebagaimana dalam pasal 11 ayat 2 huruf a adalah delik aduan, kecuali dilakukan terhadap anak, penyandang disabilitas dan anak dengan disabilitas.

Dengan demikian pemerkosaan yanh dialami anak berusia 15 tahun tersebut masuk dalam katagori delik biasa bukan delik aduan. Oleh karenanya, kasus ini dapat ditindaklanjuti dan dilakukan proses hukum sesuai dengan ketentuan yang ada, walaupun tidak ada laporan aduan dari korban atau sudah melakukan kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku.

Maka dari itu, pemerintah, aparat penegak hukum, pendamping korban dan juga masyarakat harus mengawal kasus ini sampai keadilan terhadap korban terwujudkan dan efek jera terhadap pelaku juga dirasakan. Sehingga tidak ada pelemahan hukum terhadap kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Jangan berpikir bahwa permasalahan pemerkosaan ini dapat berakhir damai dengan uang yang ditawarkan, karena apa yang menimpa korban adalah mimpi buruk yang harus dia terima seumur hidupnya. Dan juga jangan menghakimi pihak korban karena menerima uang yang ditawarkan, karena penghakiman tersebut dapat menjadi tekanan berat yang akan dialami korban.

Karena kita tidak tahu apa yang terjadi disana, tetapi saya meyakini bahwa ketimpangan relasi kuasa itu ada dan nyata, sehingga mengakibatkan rasa pasrah itu muncul dan tidak ada pilihan lain selain menerima kesepakatan damai itu. Karena perlu kita ketahui bersama bahwa "korban tetaplah korban". Bukan uang yang menjadi solusi, tetapi korban membutuhkan pemenuhan hak-hak mereka atas apa yang terjadi, agar mereka dapat berjuang menjalankan kehidupan selanjutnya tanpa intimidasi.

Form Komentar
Komentar Anda