IMPLEMENTASI FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BELITUNG
Oleh :Firmansyah Ishak,S.E.,M.H
Dosen AMB, Ketua LBH KKH Cab.Belitung, & Koordinator B-Care
Tanjungpandan, 25-10-2021 | Sarwamedia.com
Sebagai sebuah Lembaga Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dibentuk di setiap Propinsi dan Kabupaten/Kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan Legislatif, dan karena itu disebut lah Lembaga Legislatif Daerah. Namun, sebenarnya fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tangan DPRD. Kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda), baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah. Maka dari itu dapat dikatakan, sesungguhnya DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, berdasarkan ketentuan UU No.23/2014, berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur / Bupati / Walikota. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.
Fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No.23/2014, Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah. Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwa sebenarnya, lembaga parlemen itu adalah lembaga politik, dan karena itu pertama-tama haruslah dipahami sebagai lembaga politik. Sifatnya sebagai lembaga politik itu tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan, sedangkan fungsi legislasi lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak membutuhkan prasyarat-prasyarat dan dukungan-dukungan yang teknis pula. Sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggota parlemen itu adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis daripada politis. Meskipun seseorang bergelar pendidikan tinggi jika yang bersangkutan tidak dipercaya oleh rakyat, ia tidak bisa menjadi anggota parlemen. Tetapi, sebaliknya, meskipun seseorang berpendidikan rendah, tetapi ia mendapat kepercayaan dari rakyat, maka yang bersangkutan paling “legitimate” untuk menjadi anggota perlemen.
Sesuai fungsinya sebagai lembaga pengawasan politik yang kedudukannya sederajat dengan pemerintah setempat, maka DPRD juga diberi hak untuk melakukan amandemen dan apabila perlu menolak sama sekali rancangan yang diajukan oleh pemerintah itu. Bahkan DPRD juga diberi hak untuk mengambil inisiatif sendiri guna merancang dan mengajukan rancangan sendiri kepada pemerintah (Gubenur atau Bupati/Walikota). Dengan demikian, semestinya semua anggota DPRD propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan perannya sebagai wakil rakyat yang secara aktif mengawasi jalannya pemerintahan di daerah masing-masing dengan sebaik-baiknya. Instrumen yang dapat digunakan untuk itu adalah segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rencana anggaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Sudah tentu untuk melaksanakan fungsi-fungsi DPRD tersebut, termasuk fungsi legislasi dan fungsi anggaran, setiap anggota DPRD sangat perlu sekali menghimpun dukungan informasi dan keahlian dari para pakar di bidangnya. Informasi dan kepakaran itu, banyak tersedia dalam masyarakat yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat banyak. Apabila mungkin, setiap anggota DPR juga dapat mengangkat seseorang ataupun beberapa orang asisten ahli untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Jika belum mungkin, ada baiknya para anggota DPRD itu menjalin hubungan yang akrab dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat, dengan tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa di daerahnya masing-masing, dan bahkan dari semua kalangan seperti pengusaha, kaum cendekiawan, tokoh agama, tokoh budayawan dan seniman, dan sebagainya. Dari mereka itu, bukan saja dukungan moril yang dapat diperoleh, tetapi juga informasi dan pemahaman mengenai realitas yang hidup dalam masyarakat yang kita wakili sebagai anggota DPRD. Atas dasar semua itu, setiap anggota DPRD dapat secara mandiri menyuarakan kepentingan rakyat yang mereka wakili, sehingga rakyat pemilih dapat benar-benar merasakan adanya manfaat memberikan dukungan kepada para wakil rakyat untuk duduk menjadi anggota DPRD.
DPRD adalah lembaga perwakilan di daerah tempat masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, lewat lembaga ini akan keluar kebijakan - kebijakan yang menjadi dasar bagi eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah. Namun banyak fakta menunjukan apa yang terjadi dilingkungan DPRD belakangan ini mengindikasikan bahwa kinerja DPRD sebagai lembaga pengawasan politik masih diragukan. Salah satu penyebab utamanya adalah bahwa banyak kelompok dalam DPRD sendiri belum mampu melaksanakan tata pemerintahan yang baik dan demokratis. Singkatnya, jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat menjadikan dirinya sebagai lembaga yang bersih dan berwibawa, maka fungsi pengawasan akan cenderung tidak efektif dan sekedar menjadi alat politik kepentingan. Beberapa contoh yang bisa dilihat adalah kasus korupsi yang banyak dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini menunjukkan jika anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak melaksanakan tata pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan maraknya kasus korupsi dikalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membuat kepercayaan masyarakat berkurang. Selain itu, masyarakat juga mengkritik bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinilai tidak professional, itu di karenakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum mampu mengoptimalkan fungsi pengawasan, dengan indicator penyerapan anggaran oleh eksekutif berjalan nyaris tanpa pengawasan yang berarti.
Bahkan, sangat sering terjadinya gelombang protes dari kalangan aktivis dan mahasiswa yang pro demokrasi terhadap lembaga perwakilan rakyat daerah yang dianggap tidak optimal dalam menjalankan sistem pemerintahan di daerah. Hal itu dilihat dari beberapa alasan : Pertama: lembaga perwakilan rakyat daerah yang dianggap sebagai”wasit” penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan itu malah terlibat korupsi, kolusi, dan Nepotisme. Kedua: para wakil rakyat itu cenderung pada kekuasaannya saja. Ketiga: kinerja yang ditunjukan oleh lembaga perwakilan rakyat daerah berada di posisi yang mengecewakan. Akibatnya, pengelolaan anggaran yang seharusnya bermanfaat untuk rakyat, cenderung dilaksanakan secara “asal-asalan”oleh pemerintahan daerah. Dari penjelasan di atas maka pemerintah daerah khususnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam mengelola keuangan daerah perlu adanya peningkatan pengawasan pengelolaan keuangan yang transparan, partisipatif dan akuntabel, yang mana setiap pemakaian harus bisa menghasilkan suatu hasil yang berguna dan tidak merugikan bagi negara dan daerah, oleh karena itu dari pemakaian tersebut diharapkan mampu menentukan hasil, manfaat dan pengaruh yang kuat. Hasil yang didapatkan sehubungan dengan pemakaian anggaran yang digunakan diharapkan sebanding dengan kuantitas dan kualitas yang terukur, yang artinya setiap anggaran yang sudah digunakan sesuai dengan porsi atau ukuran yang tepat dan memiliki kualitas yang baik. Untuk menjamin agar Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, maka di dalam pengelolaan anggaran daerah harus adanya pengawasan yang transparan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dimana kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam mengawasi anggaran daerah harus sesuai dengan prosedur dan teknis penganggaran yang diikuti secara tertib dan taat asas. Oleh karena itu dalam proses pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang berbasis kinerja, hal yang harus dipahami terlebih dahulu adalah makna pengawasan dinamis. Dinamis sendiri berarti bahwa dalam setiap pengeluaran keuangan harus bisa dipertanggungjawabkan dan diperhitungkan agar mampu mencapai hasil yang diharapkan. Pencapaian dari suatu kinerja dinilai berdasarkan indikator tertentu yang menjadi pertimbangan utama, maka dari itu analisis standar belanja perlu dibuat dengan mengacu pada standar satuan harga untuk mencapai prestasi kerja berdasarkan standar pelayanan minimal.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang salah satu fungsinya adalah pengawasan memiliki andil dalam mengawal dan mengawasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum menunjukkan kinerja yang diharapkan karena masih banyak anggota dewan yang belum memahami fungsi pengawasan yang seharusnya dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam panyelenggaraan pemerintahan daerah. Perlu dipahami pula bahwa dalam sistem pengawasan selain meliputi pengawasan politik, dikenal pula pengawasan fungsional, pengawasan melekat dan pengawasan masyarakat, sehingga dapat dihindari adanya tumpang tindih antara berbagai lembaga pengawasan dalam melaksanakan fungsinya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Belitung dalam melaksanakan fungsinya masih menunjukan lemahnya di bidang pengawasan dan penyerapan aspirasi, itu dilihat dari banyaknya pengaduan dan berbagai keluhan masyarakat tentang ketidak beresan dalam berbagai masalah. Semestinya meraka (DPRD Kabupaten Belitung) hadir di tengah-tengah masyarakat ketika mengalami kesulitan ataupun terkendala suatu masalah dan bisa memberikan jawaban untuk dijadikan solusi bagi masyarakat. Fakta tersebut menimbulkan keraguan bagi masyarakat karena pemerintah tidak bekerja sesuai harapan masyarakat. Masyarakat juga berpikir bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan,fungsi pengawasan yang dilakukan tidak maksimal, hal itu juga disebabkan karena fungsi pengawasan masih dianggap sepele oleh mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Belitung. Berbagai data dan fakta yang telah diungkapkan tersebut membuktikan DPRD Kabupaten Belitung, dari hasil pengamatan awal penulis fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan oleh para anggota DPRD Kabupaten Belitung dirasa belum maksimal. Bahkan ada anggota yang tidak mengetahui apa saja yang menjadi tugasnya dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Hal ini bagi penulis sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut, melihat bagaimana para anggota DPRD Kabupaten Belitung dalam menjalankan salah satu fungsi mereka yaitu fungsi pengawasan. (Bersambung)