Fenomena Influencer dalam Pusaran Politik
Belitung, 28-08-2024 | Sarwamedia.com
Dari sejak awalnya, pemilu 2014 sudah akrab dengan yang namanya influencer. Hingga kemudian pada 2012, dengan perkembangan teknologi informatika, pertumbuhan influencer berbias menjadi bertumbuhnya apa yang sekarang kita sebut dengan buzzer.
Jika influencer bertumpu pada kualifikasi ketokohan personal, popular, berbeda dengan buzzer yang bisa anonim –bisa kita tengarai menggunakan nama gadungan, identitas abal-abal. Kalau ada buzzer ‘bernama lengkap’ (ciri khasnya mengamplifikasi, menyodorkan informasi yang bias, dengan argumentasi biner-nya), jika bukan buzzer amatiran kemungkinan besarnya korban ketololannya. Atau setidak-tidaknya, terlibat secara emosional dengan yang membuatnya ‘berlaku’ sebagai pembising.
Ada istilah lain yang menjembatani ‘mimikri’ dari influencer menjadi buzzer itu, ialah ketika muncul istilah ‘relawan’.
Istilah relawan kembali sering digunakan dalam kontestasi pilkada, merupakan sosok alternatif yang digagas para pendukung diluar parpol, akibat melihat pola rekrutmen di partai politik cukup bermasalah. Akibat sistem meritokrasi tak jalan di dalam partai politik.
Tumbuh suburnya influencer dan buzzer, kiranya berkait dengan kualitas demokrasi suatu negara. Tingkat kualitas demokrasi kita masih berproses. Sedang menuju, alias belum matang. Dalam rumus Max Webber, feodalisme merupakan sumber petaka demokrasi. Karena dari sana lahir relasi patronase.
Hubungan patron-client yang bukan karena ideologi, melainkan relasi personal, lebih bersifat emosional subjektif. Dari sanalah yang bernama relawan bisa dimunculkan, dan buzzer dibutuhkan. Daya kritis calon tak mungkin dibangun oleh partai politik, sehingga memunculkan dukung lewat dukungan diluar partai politik. Pada akhirnya, influencer yang dimaksudkan tak jauh beda perannya sebagaimana buzzer. Mereka hanya mengamplifikasi, atau copy. (Oleh Harfanizar)